Langsung ke konten utama

Pura dan sanggah pemerajan (filosofi, etika dan tata cara)

Pura dan Sanggah Pamerajan (Filosofi, Etika dan Tata Cara)

Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM

Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar – besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi – Tuhan Yang Maha Esa serta Batara – Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

Pura berasal dari Bahasa Sanskertayaitu “Phur” artinya tempat suci, istana, kota. Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.

Sanggah berasal dari Bahasa Kawi : “Sanggar” berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi : “Praja” yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Dalam Lontar Siwagamadisebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.

Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut :

• Taksu : adalah palinggih Dewi Saraswatisakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.

• Pangrurah : adalah palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwadengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan.

• Sri Sdana atau Rambut Sdana : palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.

• Padma : adalah palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.

• Manjangan Salwang : adalah palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturandengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M

• Gedong Maprucut : adalah palinggih Danghyang Nirartadengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M.

• Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima : adalah palinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga.

• Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi.

• Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan.

• Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa.

• Gedong Limas : adalah palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci.

• Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung) : adalah palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.

• Balai Pengaruman : adalah palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagaiBalai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.

Catatan :• Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.

• Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.

• Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok yaitu : KawitanSanggah Pamrajan, dan Dewa Hyangdengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.

3. TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

• Bersih lahir bathin; lahir : sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin : pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.

• Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.

• Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.

• Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan“) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan : ke-asmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.

• Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.

• Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.

• Tidak dalam keadaan mabuk

Pintu/Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain :

• Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.

• Tidak makan/minum berlebih-lebihan

• Tidak membuang kotoran

• Tidak bertengkar/berkelahi

• Tidak berbicara keras/memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.

• Tidak bersedih, menangis/meratap.

4. FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan yaitu :

• Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.

• Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.

• Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.

• Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.

• Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.

5. ODALAN

Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali. Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari : Petirtaan(karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal). Hari-hari menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah :

• Buda Kliwon : Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu

• Tumpek : Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.

• Buda Wage : Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu

• Anggarakasih : Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.

• Saniscara Umanis : Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.

Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:

• Mapiuning di Sanggah Pamrajanbahwa akan ngaturang Piodalan

• Macaru, bersamaan dengan Newasain/Nanceb tetaring

• Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi

• Nedunang pratima-pratima Ida Bethara

• Mamendak Ida Bethara

• Makalahias

• Ngewangsuh dan masucian

• Ngadegang Ida Bethara

• Ngaturang Piodalan, pemuspaan

• Nyineb Ida Bethara

• Masidakarya

• Makebat don

6. MLASPAS

Mlaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih : batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih. Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara :

• Memangguh : asal kata : “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.

• Memirak : asal kata : “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/Carik pemilik tanah pekarangan semula.

• Nyikut karang : mengukur panjang/lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumidan asta kosala-kosali.

• Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana(tiga penyebab kesempurnaan)

• Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi

• Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang“=Brahma, hitam merajah “Ung“= Wisnu, putih merajah “Mang“=Siwa)

• Mamakuh asal kata “bakuh“= kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.

• Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah-di atas), Siwa (tetoreh warna putih-di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam-di bawah).

• Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi : kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).

• Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.

Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.

7. TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN

1. Tahap Pertama (membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama)

• Mareresik

• Mapiuning

• Macaru Pancasata

• Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih

• Maguru Piduka

• Mlaspas dan masupati batu papendeman

• Masupati trisarana (takir berisi : kalpika, beras, jinah)

• Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)

• Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar

• Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama

• Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana

• Persembahyangan

• Dharma Wacana tentang : 1] Pura dan Sanggah Pamerajan. 2] Baberatan preti sentana.

2. Tahap Kedua (mlaspas)

• Mareresik

• Mapiuning

• Macaru Resi Gana

• Mlaspas dan masupati pedagingan, bagia/orti/palakerti, ulap-ulap

• Memakuh palinggih-palinggih

• Maurip-urip palinggih-palinggih

• Mlaspas palinggih-palinggih

• Mendem pedagingan dan memasang bagia/orti/palakerti/ulap-ulap

• Ngambe-ulap

• Nuntun Ida Bethara ke Palinggih-palinggih baru.

• Ngaturang ayaban, pemuspaan, Dharma wacana

Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas. Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya. Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara : Tuhan-Manusia-Alam melalui yadnya. Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain PuradanSanggah Pamrajan.

Demikianlah penjelasan tentang Pura dan Sanggah Pamerajan , Siapakah yang menjaga Pura dari kesucian nya? jawabannya adalah Anda, Generasi Anda dan semua umat Hindu. Mari kita jaga bersama. |sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lontar tanpa tulis cakepan baligama

Budaya Bali Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka karena diambil dari berbagai sumber informasi, yang mungkin kurang tepat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Santih  Home ajaran dharma Reiki  obat alternative Obat herbal Proteksi Produk Bali ▼ Belajar Tenaga Dalam Spiritual Bali Belajar Tenaga Dalam Spiritual Bali melanjutkan artikel terdahulu yang bertajuk " Belajar Tenaga Dalam Asli Bali " yang mungkin dapat dikatakan sebagai level atau tingkat dasar dari sekian banyak ilmu spiritual asli bali, berikut ini tyang bermaksud membagikan pemahaman pribadi tyang tentang pengenalan diri manusia, dimana dalam sastra bali lebih dikenal sebagai ajaran Kanda Pat at

Moksa (lontar pasuk wetu) kanda pat

Suka Nyari Artikel Sabtu, 29 Agustus 2015 Sekilas tentang Lontar Pasuk Wetu Sekilas tentang Lontar Pasuk Wetu sebelum membaca sekulas tentang lontar pasuk wetu, ada baiknya anda membaca artikel sebelumnya yang berjudul "Belajar tenaga Dalam Spiritual Bali" karena yang dibahas berikut ini ada kaitannya dengan artikel tersebut. "Belajar tenaga Dalam Spiritual Bali" merupakan pendahuluan pemahaman yang dapat digunakan bagi setiap orang yang hendak menekuni ajaran pasuk wetu atau yang lebih dikenal dengan ajaran kanda pat. untuk lebih jelasnya, ajaran tersebut dijelaskan dalam pembahasan berikut ini: Pasuk Wetu (Kanda Pat) Banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan dari para leluhur yg dirahasiakan bahkan banyak yg sudah punah karena lontar-lontar tidak disalin dan hancur karena sudah tua. Maka dari itu marilah kita jaga dan pelajari yg masih tersisa, salah satunya adalah lontar-lontar yang membahas ajaran ‘Pasek Wetu’. Pasuk wetu merupakan ilmu yang mempelajari (cara

Sedhana menuju moksah

SRADDHA OLEH इ कढेक् अतॅ जय ।स॥अग् A. PENGERTIAN MOKSA MOKSA BERSAL DARI BAHASA SANSEKERTA “MUC” BERARTI MEMBEBASKAN ATAU MELEPASKAN. JADI MOKSA ADALAH SUATU KELEPASAN ATAU KEBEBASAN. DIMANA KATA MOKSA DPT DISAMAKAN DENGAN NIRWANA, NISREYASA ATAU KEPARAMARTHAN. MOKSA JUGA BISA DI KATAKAN NIRGUNA BRAHMAN. YANG DIMAKSUD DGN KEBEBASAN DALAM MOKSA IALAH TERLEPASNYA ATMAN DARI IKATAN MAYA, SEHINGGA ATMAN DAPAT MENYATU DENGAN BRAHMAN BAGI MANUSIA YG TELAH MENCAPAI MOKSA BERARTI MEREKA TELAH MENCAPAI ALAM SAT CIT ANANDA. SAT CIT ANANDA BERARTI KEBAHAGIAAN YANG TERTINGGI. SETIAP MANUSIA BISA MENCAPAI MOKSA APABILA IA DGN TEKUN MENGIKUTI PETUNJUK AJARAN AGAMA. JLN YG DITUNJUK OLEH AGAMA UNTUK MENCAPAI MOKSA ADALAH CATUR MARGA YOGA: EMPAT JLN MENUJU TUHAN ATAU BRAHMAN. CIRI-CIRI ORANG YG MENCAPAI MOKSA SETIAP UMAT MANUSIA MAMPU MENCAPAI MOKSA APABILA IA TEKUN MELAKSANAKAN AJARAN AGAMANYA. DI ANTARA KE EMAT JLN TRSBUT UMAT BOLEH MELAKSANAKAN SALAH SATUNYA YANG MEREKA MAMPU LAKSANAKAN SES