BAGAIMANA KITA MERUBAH NASIB BURUK?
dewalolo141@gmail.com
SALAM RAHAYU
Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang “kenapa kita mengalami nasib buruk”, tulisan ini sekedar memberikan kilasan bagaimana nasib buruk bisa berubah, sedikit demi sedikit. Nasib buruk diakibatkan oleh adanya wasana buruk yang tersimpan di dalam kesadaran kita.
Sebagai contoh, kita pernah melakukan kesalahan tertentu, kemudian kesan (wasana) dari kesalahan tersebut melekat di kesadaran. Tentu kesalahan masa lalu menimbulkan penyesalan dan namanya penyesalan tentu tidak nyaman, yang karena tidak nyaman maka kita pun berusaha untuk mengabaikan perasaan itu.
Lama mengabaikan rasa bersalah tersebut kemudian membuat kita lupa kalau rasa itu pernah ada di dalam diri. Namun, lupa bukan berarti hilang. Semua jenis wasana masih ada di dalam diri, hanya saja kita tidak lagi menyadarinya. Karena tidak sadar, kemudian kita tidak bisa lagi mengantisipasi pengaruhnya—termasuk jika rasa bersalah itu kemudian membuat kita mengambil keputusan-keputusan yang kemudian kita sesali, yang mana kumpulan keputusan keliru akibat dorongan tak sadar dari dalam diri inilah yang sering kali dilabeli “nasib buruk”.
Bagaimana solusi merubah nasib buruk dari sumber seperti ini?
Jawabannya adalah dengan "hamuter tutur", atau memutar kesadaran. Kesadaran yang tadinya mengarah ke luar [pada hal-hal eksternal yang menjadi “pelarian” atas berbagai rasa tidak nyaman dalam diri] menjadi mengarah ke dalam.
Dengan mengarahkan kesadaran ke dalam maka kita akan melihat hal yang tadinya tersembunyi, bisa melihat diri secara jujur, melihat hal-hal dalam diri yang tadinya kita lupakan, abaikan dan tolak. Saat sudah melihat, maka kita bisa menilai, apakah keberadaan berbagai data dalam diri itu membuat kehidupan kita lebih baik atau tidak, dan jika ternyata tidak, kita bisa mengambil langkah-langkah perubahan.
Klise memang, namun salah satu solusi merubah nasib buruk adalah dengan nyiksik bulu, dengan melihat ke dalam diri, melihat bangunan kesadaran diri dan mentransformasikannya jika memang diperlukan.
Nasib buruk sering kali adalah istilah yang kita sematkan pada kondisi yang kita sendirilah yang menciptakannya, meski tanpa sadar; dan tentu solusi atas ketidaksadaran adalah dengan berlatih sadar.
Nasib buruk akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari diri jika penyebab yang sejatinya di dalam dicari-cari ke luar. Beragam istilah dimiliki orang Bali untuk mengekspresikan pengkambinghitaman; “salahang leluhur”, “kepongor”, “leakin pisaga” dan seterusnya. Mungkin semua hal itu memiliki peranannya tersendiri, namun sebelum mencari-cari sebab ke luar, bukankah selalu lebih baik jika diawali dengan mencari sebab ke dalam?
Atau memang, sesulit itukah untuk melihat diri secara jujur?
*Renungan Putu Yudiantara*
KENAPA KITA MENGALAMI NASIB BURUK?
Ada kalanya kita bertemu dengan orang yang tidak menyenangkan, atau berada dalam situasi yang tidak diharapkan. Kita menyebut kondisi demikian sebagai "kesialan" atau bahkan "nasib buruk".
Hal pertama yang bisa kita lakukan saat mengalami kondisi demikian adalah bertanya pada diri sendiri, "data apa yang tersimpan di bawah sadar saya, yang membuat munculnya situasi ini?"
Semua orang yang kita jumpai dan semua hal yang kita temui adalah akibat dari "karma-wasana", yaitu kesan-kesan yang tersimpan di bawah sadar akibat aksi yang kita lakukan. Semua itu menjadi data tersembunyi yang kemudian mengendalikan kehidupan kita, tanpa kita sadari.
Saat bicara soal karma, kita tidak hanya bicara soal semua hal yang dilakukan terdahulu, namun semua gerak indria (karmendrya) adalah karma; melihat, mendengar, bicara, berjalan, berpikir semua adalah gerak karma dan semua memunculkan wasana (kesan-kesan dan memori di pikiran bawah sadar).
Karenanya, salah satu cara mengendalikan nasib adalah dengan mengendalikan apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita pikirkan. Terutama di jaman teknologi informasi seperti sekarang, begitu banyak informasi berseliweran yang bisa jadi memunculkan berbagai wasana buruk yang akhirnya membuat kita mengalami nasib buruk.
Mengendalikan wasana salah satunya dilakukan dengan "tapa-bratha", mengendalikan apa gerak kehidupan kita sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan wasana buruk. Mungkin, di jaman modern ini salah satu Tapa-bratha yang bisa kita coba adalah mengendalikan arus informasi yang kita konsumsi; siapa yang kita follow di sosial media, berita yang dibaca dan seterusnya.
Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk menjaga ruang kesadaran kita tetap "suci", tidak terkotori berbagai hal yang bisa mengundang kesialan. Dikatakan dalam Shastra tradisional, saat seseorang kesadarannya bersih, maka segala yang diinginkan akan tercapai, semua yang diharapkan terpenuhi. Kondisi penuh kebahagiaan, yang adalah kebalikan dari kesialan.
Namun wasana biasanya menempel di kesadaran seperti cuka, yang meski sudah hilang cukanya, namun tetap menempel aromanya di wadahnya. Begitu dikatakan dalam Shastranya.
Meditasi adalah salah satu cara untuk membersihkan kerak-kerak wasana yang menempel di kesadaran. Meditasi adalah proses pembangkitan api kesadaran (Śiwāgni) yang membakar semua "papa" dan "mala".
*Renungan Putu Yudiantara*
SALAM RAHAYU
LEPASKAN PERLAHAN-LAHAN YANG KAU MILIKI.
Komentar
Posting Komentar