LONTAR TANPETULIS
Generasi muda barangkali banyak yang tak tahu apa itu lontar. Lontar adalah sejenis buku yang dibuat dari daun lontar sebelum kertas ditemukan. Dahulu dirumahku ada beberapa lontar. Dan sejak kecil aku sering mendengar kata-kata “LONTAR TANPETULIS” dari orang-orang tertentu disekitar kehidupan kami; yaitu yang bermakna sebagai lontar tanpa ada tulisan apapun (lontar kosong).
Pada saat sekarang sangatlah sedikit orang yang mengenal lontar secara baik; artinya betul-betul pernah membaca lontar walaupun tak memahami isinya. Dibutuhkan kesungguhan untuk dapat membaca lontar-lontar, yang memakai bahasa daerah halus atau bahasa Jawa Kuno (kawi), dengan tulisan Bali, Modra, Jawa, Dewanagari ataupun yang lainnya.
Tahun 1960an, ayahku, pamanku, iparnya dan beberapa teman yang lainnya, suka kumpul-kumpul, melakukan diskusi atau dialog. Sesekali aku pun ikut nguping. Dari diskusi itu mereka membanding-bandingkan tentang paham KOMUNIS dengan ajarang Sang Buddha, Theosofi dan Hindu. Walaupun aku masih kecil, namun pada akhir kesimpulan mereka adalah LONTAR TANPETULIS, yaitu berakhirnya semua kata-kata (pikiran), yang waktu itu sama sekali tak aku pahami.
Sungguhkah ada LONTAR TANPETULIS itu? Kalaupun ada, untuk apa; karena tak ada apapun yang dapat dibaca. Barangkali sejak jaman dahulu, bagi orang-orang tertentu yang memang berbakat; mereka tak henti-hentinya melakukan explorasi kedalam diri. LONTAR TANPETULIS ini bisa di-ibaratkan sebagai pintu masuk menuju “sunia”, sunyi, keheningan.
LONTAR TANPETULIS ini bermakna sama dengan Vedanta (berakhirnya veda-veda). Hanya dengan berakhirnya semua kata, konsep-konsep, pengetahuan yang adalah pikiran, barulah ada keheningan “sunia”. Bila kita melihat, sungguh memahami realita yang sangat sederhana ini, barangkali tindakkan hidup kita selanjutnya akan bertolak dari sini. Namun apa yang dilakukan selama ini, oleh sebagian besar umat manusia di-dunia yaitu tradisi, ritual dengan kepercayaannya, sudahlah pasti tidak membawa mereka pada keheningan “sunia” ini. Justru memupuk lebih banyak pikiran (kata-kata), apakah itu permohonan, doa, mantra dan lain-lainnya, hanyalah pada akhirnya memperkuat sang-pikiran (si-Aku).
Melihat realita yang ada, sepertinya kebanyakan dari kita hanyalah berenang-renang dipermukaan yang dangkal. Para tokoh, pemuka agama tak pernah mengajak umat untuk menyelam, untuk menemukan mutiara kasih yang berada didasar samudra hati setiap orang. Barangkali juga mereka tak pernah memahami hal ini; sehingga mereka hanyalah bergelut sebatas simbol-simbol, sebatas konsep atau kata-kata belaka; dimana hal ini tak’an pernah membawa kita pada keheningan, “sunia”, mokhsatam (kebebasan).
Komentar
Posting Komentar